Klasifikasi Perbedaan GADAI dan FIDUSIA

PERBEDAAN  GADAI  dan  FIDUSIA
No Uraian Gadai Fidusia

1

Pengertian Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditor (si berpiutang) atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur (si berutang), atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada kreditor itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada kreditur kreditur lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya biaya mana harus didahulukan. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya Bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada di dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.

2

Sumber Hukum Pasal 1150 s.d. Pasal 1160 Kitab undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). 1. Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;2. Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

3

Unsur-unsur 1.  gadai diberikan hanya atas benda bergerak;2.  jaminan gadai harus dikeluarkan dari penguasaan Pemberi Gadai (Debitor), adanya penyerahan benda gadai secara fisik (lavering);

3.  gadai memberikan hak kepada kreditor untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas piutang kreditur (droit de preference);

4.  gadai memberikan kewenangan kepada kreditor untuk mengambil sendiri pelunasan secara mendahului.

1.  fidusia diberikan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek;2.  fidusia merupakan jaminan serah kepemilikan yaitu debitur tidak menyerahkan benda jaminan secara fisik kepada kreditur tetapi tetap berada di bawah kekuasaan debitur (constitutum possessorium), namun pihak debitur tidak diperkenankan mengalihkan benda jaminan tersebut kepada pihak lain (debitur menyerahkan hak kepemilikan atas benda jaminan kepada kreditur);

3.  fidusia memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas hasil eksekusi benda yang menjadi obyek jaminan;

4.  fidusia memberikan kewenangan kepada kreditur untuk menjual benda jaminan atas;

5.  kekuasaannya sendiri;

4

Sifat 1.  Gadai merupakan perjanjian yang bersifat assesoir (tambahan) terhadap perikatan pokok, yang tanpa adanya keberadaan dari utang pokok, maka hak atas benda yang digadaikan tidak pernah ada. Gadai diberikan setelah adanya perjanjian pokok;2.  Bersifat memaksa, berkaitan dengan adanya penyerahan secara fisik benda gadai dari Debitur/Pemberi Gadai kepada Kreditur/Penerima Gadai;

3.  Dapat beralih atau dipindahkan, benda gadai dapat dialihkan atau dipindahkan oleh Penerima Gadai kepada Kreditur lain namun dengan persetujuan dari Pemberi Gadai;

4.  Bersifat individualiteit, sesuai Pasal 1160 KUH Perdata, bahwa benda gadai melekat secara utuh pada utangnya meskipun karena meninggalnya debitur atau kreditur diwariskan secara terbagi-bagi, namun hak gadai atas benda yang digadaikan tidak dapat hapus dengan begitu saja hingga seluruh utang telah dilunasi;

5.  Bersifat menyeluruh (totaliteit), berarti hak kebendaan atas gadai mengikuti segala ikutannya yang melekat dan menjadi satu kesatuan dengan benda terhadap mana hak kebendaan diberikan;

6.  Tidak dapat dipisah-pisahkan (Onsplitsbaarheid), berarti pemberian gadai hanya dapat diberikan untuk keseluruhan benda yang dijadikan jaminan dan tidak mungkin hanya sebagian saja;

7.  Mengikuti bendanya (Droit de suite),pemegang hak gadai dilindungi hak kebendaannya, ke tangan siapapun kebendaan yang dimiliki dengan hak kebendaan tersebut beralih, pemilik berhak untuk menuntut kembali dengan atau tanpa disertai ganti rugi;

8.  Bersifat mendahulu (droit de preference), bahwa Penerima Gadai mempunyai hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya untukmengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda gadai;

9.  Sebagai Jura in re Aliena (yang terbatas), gadai hanya semata-mata ditujukan bagi pelunasan utang. Gadai tidaklah memberikan hak kepada Pemegang Gadai/Penerima Gadai untuk memanfaatkan benda yang digadaikan, terlebih lagi mengalihkan atau memindahkan penguasaan atas benda yang digadaikan tanpa izin dari Pemberi Gadai.

1.  Fiducia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok, dan bukan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Perjanjian Fidusia tidak disebut secara khusus dalam KUH Perdata. Karena itu, perjanjian ini tergolong dalam perjanjian tak bernama (Onbenoem De Overeenkomst);2.  Berrsifat memaksa, karena dalam hal ini terjadi penyerahan hak milik atas benda yang dijadikan obyek Jaminan Fidusia, walaupun tanpa penyerahan fisik benda yang dijadikan obyek jaminan;

3.  Dapat digunakan, digabungkan, dicampur atau dialihkan terhadap benda atau hasil dari benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dengan persetujuan dari Penerima Fidusia;

4.  Bersifat individualiteit, bahwa benda yang dijadikan obyek Jaminan Fidusia melekat secara utuh pada utangnya sehingga meskipun sudah dilunasi sebagian, namun hak fidusia atas benda yang dijadikan obyek jaminan tidak dapat hapus dengan begitu saja hingga seluruh utang telah dilunasi;

5.  Bersifat menyeluruh (totaliteit), fidusia mengikuti segala ikutannya yang melekat dan menjadi satu kesatuan dengan benda terhadap mana hak kebendaan diberikan;

6.  Tidak dapat dipisah-pisahkan (Onsplitsbaarheid), berarti pemberian fidusia hanya dapat diberikan untuk keseluruhan benda yang dijadikan jaminan dan tidak mungkin hanya sebagian saja;

7.  Bersifat mendahulu (droit de preference), bahwa Penerima Fidusia mempunyai hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang dijadikan obyek Jaminan Fidusia;

8.  Mengikuti bendanya (Droit de suite), pemegang hak fidusia dilindungi hak kebendaannya, Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek Jaminan Fidusia;

9.  Harus diumumkan (asas  publisitas), benda yang dijadikan obyek Jaminan Fidusia wajib didaftarkan, hal ini merupakan jaminan kepastian terhadap  kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia;

  1. Berjenjang/Prioriteit (ada prioritas yang satu atas yang lainnya), hal ini sebagai akibat dari kewajiban untuk melakukan pendaftaran dalam pembebanan Jaminan Fidusia dan apabila atas benda yang sama menjadi obyek lebih dari 1 (satu) perjanjian Jaminan Fidusia;
  2. Sebagai Jura in re Aliena (yang terbatas), Fidusia adalah hak kebendaan yang bersifat terbatas, yang tidak memberikan hak kebendaan penuh kepada Pemegang atau Penerima Fidusia. Jaminan Fidusia hanya sematamata ditujukan bagi pelunasan utang. Fidusia hanya memberikan hak pelunasan mendahulu, dengan cara menjual sendiri benda yang dijaminkan dengan fidusia.

5

Subyek 1. Dari segi individu (person), yangmenjadi subyek gadai adalah setiap

orang sebagaimana dimaksud Pasal

1329 KUH Perdata;

2. Para Pihak, yang menjadi subyek

gadai adalah :

a. Pemberi Gadai atau Debitur;

b. Penerima Gadai atau Kreditur;

c. Pihak Ketiga yaitu orang yang

disetujui oleh Pemberi Gadai

dan Penerima Gadai untuk

memegang benda gadai

sehingga disebut Pemegang

Gadai

1. Dari segi individu (person), yangmenjadi subyek fidusia adalah :

a. Orang perorangan;

b. Korporasi.

2. Para Pihak, yang menjadi subyek

fidusia adalah :

a. Pemberi Fidusia atau Debitur;

b. Penerima Fidusia atau

Kreditur.

6 Obyek Benda bergerak baik bertubuh maupuntidak bertubuh. 1.  Benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud;2.  Benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek, yaitu bangunan di atas tanah milik orang lain, sebagai contoh rumah susun, apartemen.

7

Pembebanan bendajaminan 1.  benda gadai tidak dapat dibebankan berkali-kali kepada kreditur yang berbeda;2.  Tidak ada aturan untuk mendaftarkan benda jaminan yang menjadi obyek gadai. 1.  Benda jaminan fidusia dapat dibebankan berkali-kali kepada kreditur yang berbeda; Catatan : Pasal 17 UU tentang Fidusia mengatur larangan melakukan Fidusia ulang terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang sudah terdaftar.2.  Jaminan Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu Penerima Fidusia atau Kuasa/Wakil Penerima Fidusia, dalam rangka pembiayaan kredit konsorsium;

3.  Pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dan merupakan akta Jaminan Fidusia;

4.  Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk diterbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia;

5.  Penerbitan Sertifikat Jaminan Fidusia yang di dalamnya dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

8

Kedudukan benda jaminan benda jaminan secara fisik berada di bawah penguasaan Kreditur/Penerima Gadai atau pihak ketiga yang telah disetujui kedua belah pihak. hak kepemilikan atas benda jaminan diserahkan kepada Kreditur/Penerima Fidusia, sedangkan benda jaminansecara fisik masih berada dibawah penguasaan Debitur/Pemberi Fidusia.

9

Kewajiban/Tanggung

Jawab

1.  Penerima Gadai/Kreditur : a. bertanggung jawab untuk hilangnya atau kemerosotan barangnya sekedar itu telah terjadi karena kelalaiannya; b. harus memberitahukan Pemberi Gadai, jika benda gadai dijual;c. bertanggungjawab terhadap penjualan benda gadai.

2.  Pemberi Gadai diwajibkan mengganti kepada kreditur segala biaya yang berguna dan perlu, yang telah dikeluarkan oleh pihak yang tersebut belakangan guna keselamatan barang gadainya.

1.  Penerima Fidusia :a. wajib mendaftarkan jaminan fidusia kepada Kantor Pendaftaran Fidusia;

b. wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan dalam Sertifikat Jaminan Fidusia kepada Kantor Pendaftaran Fidusia;

c. wajib mengembalikan kepada Pemberi Fidusia dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan; d. wajib memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai hapusnya jaminan fidusia. Pengecualian: Penerima Fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian Pemberi Fidusia baik yang timbul dari hubungan kontraktual atau yang timbul dari perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

2.  Pemberi Fidusia :

a. dalam hal pengalihan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, wajib menggantinya dengan obyek yang setara;

b. wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi;

c. tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayarkan.

10

Hak 1.  Penerima Gadai mempunyai hak:a. penguasaan benda gadai, namun tidak mempunyai hak untuk memiliki benda gadai;

b. dalam hal debitur wanprestasi, untuk menjual dengan kekuasaan sendiri (parate eksekusi), sehingga hak untuk penjualan benda gadai tidak diperlukan adanya title eksekutorial. Penerima Gadai/ Pemegang Gadai dapat melaksanakan penjualan tanpa adanya penetapan Pengadilan, tanpa perlu adanya juru sita ataupun mendahului dengan penyitaan;

c. menjual benda gadai dengan perantaraan hakim, dimana kreditur dapat memohon pada hakim untuk menentukan cara penjualan benda gadai;

d. mendapat ganti rugi berupa biaya yang perlu dan berguna yang telah dikeluarkan guna keselamatan barang gadai; e. retensi (menahan) benda gadai, bilamana selama hutang pokok, bunga, dan ongkos-ongkos yang menjadi tanggungan belum dilunasi maka si berhutang/debitur maka debitur tidak berkuasa menuntut pengembalian benda gadai;

f. untuk didahulukan (kreditur preferen) pelunasan piutangnya terhadap kreditur lainnya, hal tersebut diwujudkan melalui parate eksekusi ataupun dengan permohonan kepada Hakim dalam cara bentuk penjualan barang gadai.

2.  Pemberi Gadai tetap mempunyai hak milik atas Benda Gadai.

1.  Penerima Fidusia mempunyai hak:a. kepemilikan atas benda yang dijadikan obyek fidusia, namun secara fisik benda tersebut tidak di bawah penguasaannya;

b. dalam hal debitur wanprestasi, untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri (parate eksekusi), karena dalam Sertifikat Jaminan Fidusia terdapat adanya title eksekutorial, sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. yang didahulukan terhadap kreditur lainnya untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;

d. memperoleh penggantian benda yang setara yang menjadi obyek jaminan dalam hal pengalihan jaminan fidusia oleh debitur;

e. memperoleh hak terhadap benda yang menjadi obyek  jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi;

f. tetap berhak atas utang yang belum dibayarkan oleh debitur.

2.  Pemberi Fidusia mempunyai hak:

a. tetap menguasai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;

b. dapat menggunakan, menggabungkan, mencampur atau mengalihkan benda atau hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, atau melakukan penagihan atau melakukan kompromi atas utang apabila Penerima Fidusia menyetujui.

11

Larangan Penerima Gadai atau kreditur tidak 1.  Pemberi Fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang sudah terdaftar;2.  Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia.

12

Eksekusi Apabila debitur atau Pemberi Gadai cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek Jaminan Gadai dapat dilakukan :1. Kreditur diberikan hak untuk

menyuruh jual benda gadai

manakala debitur ingkar janji,

sebelum kreditur menyuruh jual benda yang digadaikan maka ia harus memberitahukan terlebih dahulu mengenai maksudnya tersebut kepada debitur atau Pemberi Gadai;

2. Suatu penjualan benda gadai oleh kreditur berdasarkan perintah pengadilan, maka kreditur wajib segera memberitahukan kepada Pemberi Gadai.

Apabila debitur atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara :1. pelaksanaan title eksekutorial oleh Penerima Fidusia, berarti eksekusi langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut;

2. Penjualan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum

serta mengambil pelunasan

piutangnya dari hasil penjualan;

Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan

kesepakatan bersama jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang

menguntungkan para pihak;

3. Pelaksanaan penjualan dibawah tangan dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh Para Pihak kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar di daerah yang bersangkutan.

13

Hapusnya 1.  Apabila benda gadai dikeluarkan dari kekuasaan Penerima Gadai dan kembali ke tangan Pemberi Gadai;2.  Manakala perikatan pokok telah dilunasi atau jika utang pokok telah dilunasi semuanya atau telah hapus;

3.  Hilangnya atau dicurinya benda gadai dari penguasaan Pemegang Gadai/Penerima Gadai (musnahnya benda gadai);

4.  Dilepaskannya benda gadai secara sukarela oleh Pemegang/Penerima Gadai.

1.  Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;2.  Adanya pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia;

3.  Musnahnya benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.

14

Sanksi Dalam KUH Perdata tidak diatur mengenai sanksi bagi Para Pihak. 1.  Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian jaminan fidusia;2.  Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang dilakukan tana persetujuan tertulis dari Penerima Fidusia.

Bayi ajaib, tanda lahir ayat Al-Qur’an

Wallahu alam bi showab, hanya Dia yang tahu pesan apa yang hendak Dia sampaikan kepada ummat manusia di dunia ini. Dunia sudah tua ataukah kiamat sudah dekat? Seorang bayi yang berusia 9 bulan di negara bagian Dagestan, Rusia, menunjukkan fenomena aneh. Di kaki bayi yang bernama Ali Yakubova itu terdapat tulisan ayat Al-Quran. Seperti yang ditulis di situs TempoInteraktif.com, harian Inggris The Sun menyebutkan bahwa sebelum muncul di kaki kalimat itu muncul pada pergelangan tangan, kaki, dan perut Ali. Kedua orang tua Ali pertama kali dibuat kaget ketika lafal Allah muncul pada dagu anaknya tak lama setelah lahir. Setelah itu beragam kalimat bertuliskan arab memenuhi seluruh anggota tubuh anak tersebut. (Berita tentang hal ini di media lainnya juga bisa dibaca di situs Hidayatullah, di situs Okezone.com, atau di situs Detik.com)

bayi-alquran2

bayi-alquran2

Ali juga membuat kalangan dokter di Rusia pusing tujuh keliling. Seperti dilansir dari The Sun, tim medis mengatakan, pihaknya tidak bisa menjelaskan kondisi misterius Ali Yakubov, tapi mereka membantah, tanda ini ditulis oleh seseorang pada kulit bayi ini. Madina Yakubova, ibu sang bayi mengatakan ia dan suaminya tidak begitu taat dalam melaksanakan agama Islam sebelum kalimat tersebut muncul pada kulit anaknya.

bayi-alquran1
bayi-alquran1Tulisan arab di kaki bayi itu begitu jelas dibaca. Coba lihat foto di kanan ini, di situ tertulis falanaqusshanna ‘alaihim dan seterusnya. Ada yang tahu artinya? Pada surat apa dan ayat berapa? Anehnya, tulisan di kaki itu selalu berganti. Menurut Madina kalimat berlafalkan Al-Qur’an itu muncul setiap dua pekan sekali. “Biasanya muncul pada malam antara hari Kamis dan Jumat,” akunya.

Sang ibu, mengatakan bahwa anak laki-lakinya dilahirkan dengan hematoma di dagunya, dan ketika memar pulih, kata ‘Allah’ tulisan Arab muncul. Dalam dunia medis, Hematoma adalah penampakan biru (keunguan) pada kulit, yang dapat terjadi karena benturan atau sebab lain.

Di balik kulit yang membiru itu, terdapat pembuluh darah yang pecah dan darahnya keluar, serta kemudian membeku (menjendal) di luar pembuluh darah itu. Jika letaknya cukup dekat dengan permukaan kulit, maka akan terlihat seperti warna biru/ungu. Umumnya terasa nyeri, terutama jika ditekan, dan kadang juga disertai pembengkakan.

Masalahnya, semenjak muncul tulisan yang dipercaya “ayat-ayat Allah” pertama kali, sejak itu pula, munculnya tulisan-tulisan bernuansa Arab lain bertebaran di punggung, lengan, kaki, dan perutnya. Menariknya, keluarganya mengklaim, selalu ada tanda-tanda sebelum ayat-ayat baru muncul, dua kali dalam sepekan.

bayi-alquran4

bayi-alquran4

Paramedis tentu saja tidak percaya bahwa itu adalah mukjizat agama. Ludmila Luss, seorang dokter setempat, percaya bahwa cerita dengan tanda-tanda seperti itu, hanya didalangi oleh orangtua sang anak.

Menurut Ludmila Luss, kemungkinan besar tulisan itu adalah akibat efek iritasi, seperti lada dan garam, atau obat-obatan, yang memicu peradangan kulit dan meninggalkan jejak merah berbentuk huruf Arab,” katanya.

“Beberapa orang yang menderita patologi lambung memiliki kulit yang sangat sensitif. Jika Anda menggambar sesuatu pada kulit mereka dengan tongkat kecil, misalnya, gambar akan kemudian muncul,” kata Ludmila Luss.

bayi-alquran3

bayi-alquran3

Bayi yang lucu, fotonya benar-benar menggemaskan. “Anak ini adalah murni tanda dari Tuhan. Allah mengirimkannya ke Dagestan dalam rangka menghentikan perang dan ketegangan di republik ini,” kata Akhmedpasha Amiralaev, salah seorang pemuka agama di Dagestan, Rabu (21/10). Bila betul ini kebesaran Allah SWT, jangan sampai fenomena ini dijadikan klenik atau tahayul seperti yang sering terjadi di Indonesia.

PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM PERPEKTIF POSITIVISME

PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM
PERPEKTIF POSITIVISME
[1]

MOCHAMAD SOEF, SH, S.HI [2]

ABSTRAK

Penulis makalah mencoba membahas tentang perkembangan filsafat hukum menurut perpektif positivise. Sebagaimana positivisme diperkenalkan oleh John Austin dan dipopulerkan serta dikembangkan oleh August Comte (1798-1857). Comte membagi perkembangan pemikiran manusia kedalam tiga fase, yang menurutnya hal tersebut merupakan sebuah rentetan ketentuan umum yang sudah ditetapkan. Tiga tahap tersebut melalui teori comte tentang kemajuan manusia adalah sebagai berikut; Tahap teologis, Tahap metafisis dan Tahap positif/ ilmiah.
Paradigma positivistik berpandangan demi kepastian hukum, maka keadilan dan kemanfaatan boleh diabaikan. Pandangan positivistik juga telah mereduksi hukum dalam kenyataannya sebagai pranata pengaturan yang kompleks menjadi sesuatu yang sederhana, linear, mekanistik dan deterministik. Hukum tidak lagi dilihat sebagai pranata manusia, melainkan hanya sekedar media profesi. Akan tetapi karena sifatnya yang deterministik, aliran ini memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi.
Kata kunci: Perkembangan, filsafat hukum, positivisme.

I. PENDAHULUAN

Pendapat yang menyatakan bahwa induk dari segala macam ilmu pengetahuan adalah Filsafat merupakan argumen yang hampir diterima oleh semua kalangan. Hal ini terbukti dengan adanya hubungan yang erat antara ilmu pengetahuan tertentu dengan filsafat tertentu, seperti filsafat hukum yang melahirkan ilmu hukum dan seterusnya. Filsafat hukum adalah refleksi teoretis (intelektual) tentang hukum yang paling tua, dan dapat dikatakan merupakan induk dari semua refleksi teoretis tentang hukum.[3] Filsafat hukum adalah filsafat atau bagian dari filsafat yang mengarahkan (memusatkan) refleksinya terhadap hukum atau gejala hukum. Sebagai refleksi kefilsafatan, filsafat hukum tidak ditujukan untuk mempersoalkan hukum positif[4] tertentu, melainkan merefleksi hukum dalam keumumannya atau hukum sebagai demikian (law as such). Filsafat hukum berusaha mengungkapkan hakikat hukum dengan menemukan landasan terdalam dari keberadaan hukum sejauh yang mampu dijangkau oleh akal budi manusia.[5]
Gagasan tiga tahap August Comte[6]; menurutnya sejarah pemikiran manusia berevolusi dalam tiga tahap; tahap teologis (mistis) dimana manusia memecahkan berbagai persoalan dengan meminta bantuan kepada Tuhan atau dewa-dewa, yang tidak terjangkau oleh panca indera; tahap falsafi dimana pada tahap ini hakekat benda-benda merupakan keterangan terakhir dari semua; dan tahap positivis, tahap dimana dunia fakta yang dapat diamati dengan panca indera merupakan satu-satunya obyek pengetahuan manusia. Pada tahap terakhir inilah dunia Tuhan dan dunia filsafat telah ditinggalkan. Tulisan sederhana ini tidak bermaksud untuk membahas berbagai persoalan tersebut, hanya untuk mencari jawaban bagaimana pengaruh positivisme dalam pemikiran hukum.

II. PEMBAHASAN
Istilah Positivisme Hukum pertama kali oleh Saint Simon (1760-1825) dari prancis sebagai metode dan sekaligus sebagai perkembangan dalam arah pemikiran filsafat. Positivisme Hukum sebagai sebuah aliran pemikiran filsafat hukum mendasarkan pemikirannya pada pemikiran seorang ahli filsafat Prancis terkemuka yang pertama kali menggunakan istilah Positivisme, yaitu August Comte (1798-1857). Pemikiran Comte merupakan ekspersi suatu periode kultur Eropa yang ditandai dan diwarnai perkembangan pesat ilmu-ilmu eksakta berikut penerapannya. Comte membagi perkembangan pemikiran manusia kedalam tiga taraf/ fase, yang menurutnya hal tersebut merupakan sebuah rentetan ketentuan umum yang sudah ditetapkan. Tiga tahap tersebut melalui teori comte tentang kemajuan manusia adalah sebagai berikut[7] :
1. Tahap teologis (dimana manusia dan alam seisinya di jelaskan oleh supranatural).
2. Tahap metafisis (menjelaskan alam serta gejala didalamnya dengan mengandalkan kemampuan rasio atau akal budi).
3. Tahap positif/ ilmiah (tahapan dimana seluruh pengalaman memberikan inspirasi kepada manusia untuk merumuskan hukum).
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala (diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sejarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 (empat) ciri, yaitu :
a. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
b. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus-meneurs dari syarat-syarat hidup
c. Metode ini berusaha ke arah kepastian
d. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Sehingga positivisme adalah merupakan sebagai ilmu pengetahuan sehingga menurut pandangan para pakar positivism. Tugas pokok filsafat adalah menemukan prinsip umum bagi semua ilmu pengetahuan dan yang selanjutnya digunakan panduan prilaku manusia, sekaligus menjadi basis organisasi sosial.[8]
Pengertian pokok dalam istilah positivisme hukum (Morawetz) dan Legal Positivism (Paul Edwards), adalah sebagi berikut:[9]
1. Positivisme hukum digunakan untuk menunjuk konsep hukum yang mendefinisikan hukum sebagai komando, sebagaimana diperkenalkan oleh pakar filsafat inggris yaitu John Austin. Akan tetapi pemikiran ini ditolak oleh H.L.A Hart, karena definisi Austin tidak cukup memadai dikarenakan mengabaikan peraturan lainnya yang berfungsi sebagai hukum meskipun tidak harus dalam artian komando dari seorang yang berdaulat. Jadi menurut Hart semua undang-undang dan kontitusi serta hukum Internasional dapat dimasukkan dalam kategori positivisme. Dan dapat diperluas meliputi hukum adat dan hukum yang dibuat oleh hakim dalam proses pengadilan (Yurisprudensi).
2. Istilah positivisme digunakan untuk menandai perkembangan penting dalam konsep hukum terdapat dua ciri, yaitu (a). Hukum harus netral dipisahkan dari moral dan politik hukum yang disebut hukum murni dikembangkan oleh Hans Kelsen. Dan (b). Hukum tidak mengenal hukum yang ideal, melainkan hukum denga aktual (hukum yang ada). Pemisahan tersebut positivisme untuk hukum dari pernyataan moral yang tidak ilmiah (konsep fundamental seperti halnya hak, kewajiban, kepemilikan, dan person hukum).
3. Positivisme hukum merupakan cara berfikir dalam proses judisial dimana hakim menasarkan putusannya kepada peraturan yang ada (pengandalan kemanpuan berfikir yang logis).
4. Positivisme hukum juga merupakan cara pandang berfikir penilaian moral kalau dipandang perlu harus didasarkan dengan bukti-bukti faktual atau argument rasional. Sebagaimana pandangan Joseph Raz melalui gagasannya ”mitos moralitas bersama” (the myth of common morality), bahawa kesatuan tercipta karena adanya moralitas yang diterima dalam masyarakat.
5. Positivisme sosiologis, yaitu positivisme menuntuk menunjuk pandangan hukum yang ada bila tidak adil harus dipatuhi. Dengan kata lain validitas hukum tidak tergantung dengan validitas moral sebagaimana yang dituntul oleh hukum kodrat.
Bagi Comte yang penting adalah stadium/ tahap ilmiah, sebagai tahap terakhir dan tertinggi pemikiran manusia, dimana pada tahap ini pemikiran manusia sampai pada suatu pengetahuan yang ultim. Dasar dari pengetahuan adalah fakta-fakta yang dapat diobservasi. Pemikiran Ilmiah berikhtiar untuk mencari dan menelusuri hubungan-hubungan dan ketentuan-ketentuan umum antara fakta-fakta melalui cara yang dapat diawasi, artinya melalui metode eksperimental.
Melalui positivisme, hukum ditinjau dari sudut pandang positivisme yuridis dalam arti yang mutlak. Artinya adalah ilmu pengetahuan hukum adalah undang-undang positif yang diketahui dan disistematikan dalam bentuk kodifikasi-kodifikasi yang ada. Positivisme hukum juga berpandangan bahwa perlu dipisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya / antara das Sollen dan das Sein). Dalam kacamata positivis tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is command from the lawgivers). Bahkan bagi sebagian aliran Positivisme Hukum yang disebut juga Legisme, berpendapat bahwa hukum itu identik dengan Undang-undang. Positivisme Hukum juga sangat mengedepankan hukum sebagai pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik.
Salah satu pemikir Positivisme yang terkemuka adalah John Austin (1790-1859). Bagi Austin hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat hukum sendiri menurutnya terletak pada unsur “perintah” (command). Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Austin menyatakan “ a law is a command which obliges a person or person. Laws and other commands are said to proceed from superior, and to bind or oblige inferiors”[10]. Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis :[11]
1. Hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine laws), dan
2. Hukum yang dibuat oleh manusia, yang dibagi lagi kedalam dua bagian:
a. hukum yang sebenarnya.
b. hukum yang tidak sebenarnya.
Penjelasan hukum dalam arti yang sebenarnya ini (disebut juga hukum positif) meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum.
Senada dengan Austin, tokoh dari aliran Positivisme Hukum lainnya yaitu Hans Kelsen (1881-1973), mengatakan bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir asing yang non-yuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikirannya ini dikenal sebagai Teori Hukum Murni (the pure theory of law).[12] Bagi Kelsen hukum adalah suatu sollens kategori (kategori keharusan) bukannya sein kategorie (kategori faktual). Hukum dikonstruksikan sebagai suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai mahluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukalah ”bagaimana hukum itu seharusnya“ (what the law ought to be) melainkan “apa hukumnya” (what is the law). Dengan demikian hukum itu merupakan hukum positif an sich.
Dalam paradigma positivisme definisi hukum harus melarang seluruh aturan yang mirip hukum, tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang berdaulat. Kepastian hukum harus selalu dijunjung apapun akibatnya dan tidak ada alasan untuk tidak menjunjung hal tersebut, karena dalam paradigmanya hukum positif adalah satu-satunya hukum. Dari sini nampak bahwa bagi kaum positivistik adalah kepastian hukum yang dijamin oleh penguasa. Kepastian hukum yang dimaksud adalah hukum yang resmi diperundangkan dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi

III. PENUTUP

Dalam paradigma postivistik sistem hukum tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan sekedar melindungi kemerdekaan individu (person). Kemerdekaan individu tersebut senjata utamanya adalah kepastian hukum. Paradigma positivistik berpandangan demi kepastian, maka keadilan dan kemanfaatan boleh diabaikan. Pandangan positivistik juga telah mereduksi hukum dalam kenyataannya sebagai pranata pengaturan yang kompleks menjadi sesuatu yang sederhana, linear, mekanistik dan deterministik. Hukum tidak lagi dilihat sebagai pranata manusia, melainkan hanya sekedar media profesi. Akan tetapi karena sifatnya yang deterministik, aliran ini memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi. Artinya masyarakat dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas dan ketaatan hukum demi tertib masyarakat merupakan suatu keharusan dalam positivisme hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Andre Ata Ujan, 2008, Pembangunan Hukum membela keadilan filsafat hukum, Cetakan ke-5, Kanisius: Yogyakarta.

B. Arif Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Cetakan kedua, Refika Aditama: Bandung.

Lili Rasjidi, dalam Bernard Arif Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju: Bandung.

John Austin, The Province Of Jurisprudence, dikutip dari Darji Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia: Jakarta.

J.J. H. Bruggink, Alih bahasa Arif Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti: Bandung.

Footnotes
1. Makalah untuk dipresentasikan dalam Mata Kuliah Filsafat Hukum Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Brawijaya tentang Gagasan tujuan hukum: Perkembangan Filsafat Hukum dari Pandangan Positifisme, 19 Oktober 2009, Malang.
2. Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, angkatan 2009.
3. Lili Rasjidi, dalam Bernard Arif Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan lmu hukum sebagai landasan pengembangan ilmu hukum nasional Indonesia), Mandar Maju: Bandung, hlm.119.
4. Hukum positif adalah ialah terjemahan dari ius positum dalam bahasa latin, secara harfiah berarti hukum yang ditetapkan (gesteld recht). Jadi, hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia, karena itu dalam ungkapan kuno disebut “stellig recht”. Lihat J.J. H. Bruggink, Alih bahasa Arif Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti: Bandung, hlm 142.
5. Ibid
6. Ibid, hlm.42.
7. Andre Ata Ujan, 2008, Pembangunan Hukum membela keadilan filsafat hukum, Cet ke-5, Yogyakarta: Kanisius, hlm.64.
8. Ibid., 65
9. Ibid., 66-68.
10. John Austin, The Province Of Jurisprudence, dikutip dari Darji Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 2004, hal 114
11. Ibid
12. Andre Ata Ujan, Op.cit., hlm 82

KUPAS SEKILAS HUKUM TENAGA KERJA

HUKUM TENAGA KERJA


Oleh: MOCHAMAD SOEF, SH, S.HI

  1. Sejarah Hukum Perburuhan;

Secara histories lahirnya hukum perburuhan terkait erat dengan Revolusi Industri yang terjadi di Eropa, khususnya di Inggris pada abad ke-19. Revolusi Industri yang ditandai dengan penemuan mesin uap telah mengubah secara permanen hubungan buruh-majikan. Penemuan mesin juga telah mempermudah proses produksi. Revolusi Industri menandai munculnya zaman mekanisasi yang tidak dikenal sebelumnya. Ciri utama mekanisasi ini adalah: hilangnya industri kecil, jumlah buruh yang bekerja di pabrik meningkat, anak-anak dan perempuan ikut diterjunkan ke pabrik dalam jumlah massal, kondisi kerja yang berbahaya dan tidak sehat, jam kerja panjang, upah yang sangat rendah, dan perumahan yang sangat buruk.

Keprihatinan utama yang mendasari lahirnya hukum perburuhan adalah buruknya kondisi kerja di mana buruh anak dan perempuan bekerja, terutama di pabrik tenun/ tekstil dan pertambangan yang sangat membahayakan kesehatan dan keselamatan diri mereka. Undang-undang perburuhan pertama muncul di Inggris tahun 1802, kemudian menyusul di Jerman dan Perancis tahun 1840, sedangkan di Belanda sesudah tahun 1870. Substansi undang-undang pertama ini adalah jaminan perlindungan terhadap kesehatan kerja (health) dan keselamatan kerja (safety). Undang-undang perlindungan inilah yang menandai berawalnya hukum perburuhan.

Upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan pada kesehatan dan keselamatan kerja melalui hukum tidak berjalan dengan mulus. Karena saat berlangsung Revolusi Industri, teori sosial yang dominan adalah faham liberalisme dengan doktrin laissez-faire. Dalam doktrin ini negara tidak boleh melakukan intervensi ke dalam bidang ekonomi kecuali untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Konsep negara yang dominan waktu itu adalah Negara Penjaga Malam (the night-watchman-state). Karena itulah upaya pemerintah untuk melindungi buruh mendapat perlawanan keras dari kelompok pengusaha dan para intelektual pendukung laissez-faire, terutama Adam Smith. Mereka menuduh intervensi pemerintah melanggar kebebasan individual dalam melakukan aktifitas ekonomi dan kebebasan menjalin
kontrak.

Pada saat yang sama, serikat-serikat buruh belum berkembang. Di sisi lain pengusaha juga masih bersikap anti serikat, tambah lagi, sistem hukum yang ada belum memungkin lahirnya serikat buruh. Sebagai contoh, hingga tahun 1825 di Inggris masih berlaku Undang-Undang Penggabungan (Combination Acts) yang menganggap ilegal semua aksi kolektif (collective action) untuk tujuan apapun. Di Belanda, larangan untuk berorganisasi/berserikat (coalitie verbod) baru dihapus pada tahun 1872. Sejak penghapusan inilah buruh dapat melakukan konsolidasi dalam serikat-serikat buruh. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa hukum perburuhan yang melindungi buruh adalah hasil desakan para pembaharu di dalam maupun di luar parlemen. Secara perlahan, munculnya hukum perlindungan buruh merupakan bukti bahwa secara sosial doktrin laissez-faire mulai ditinggalkan atau setidaknya tidak lagi dapat diterapkan secara mutlak. Mulai muncul kesadaran bahwa negara harus intervensi dalam hubungan buruh-majikan. Kesadaran baru ini ditandai dengan munculnya teori sosial yang ingin mengimbangi gagasan di balik doktrin laissez-faire. Misalnya, M. G. Rood berpendapat bahwa undang-undang perlindungan buruh merupakan contoh yang memperlihatkan ciri utama hukum sosial yang didasarkan pada teori ketidakseimbangan kompensasi. Teori ini bertitik-tolak pada pemikiran bahwa antara pemberi kerja dan penerima kerja ada ketidaksamaan kedudukan secara sosial-ekonomis. Penerima kerja sangat tergantung pada pemberi kerja. Maka hukum perburuhan memberi hak lebih banyak kepada pihak yang lemah daripada pihak yang kuat. Hukum bertindak “tidak sama” kepada masing masing pihak dengan maksud agar terjadi suatu keseimbangan yang sesuai. Hal ini dipandang sebagai jawaban yang tepat terhadap rasa keadilan umum.

  • Sejarah dibentuknya UU ketenaga kerjaan, adalah sebagai berikut

Maraknya isu – isu buruh saat ini memang sangat panas di beberapa belahan dunia. Terjadi lantaran sistem perundang – undangan yang diskriminatif terhadap buruh. Tiga negara sudah memperlihatkan. Di Perancis, PM Jacques Villepin mengeluarkan CPE. Peraturan ini berisi perijinan pemecatan buruh pada usia dibawah 26 tahun ke bawah. Lain lagi di Amerika, pemerintah negeri “Melting Pot” ini mengeluarkan peraturan yang ketat bagi buruh yang katanya ‘imigran’. Pembahasan imigrasi terdengar santer di Amerika karena hampir sebagian besar penduduknya adalah imigran. Akhirnya pemerintah Indonesia pun tidak mau ketinggalan tren dengan revisi UU Ketenagakerjaan No. 13 th. 2003. Secara jelas bahwa buruh boleh dipecat, tanpa perlindungan asuransi keselamatan kerja, tanpa uang pensiun, dll. Disini pemerintah lepas tangan dan menyerahkan kepada perusahaan.

Ada asumsi bahwa buruh adalah Posisi buruh dianggap alat produksi seperti halnya mesin, lokasi, modal, dll. Mereka dilihat sebagai ternak yang bisa diambil susu, kulit dan dagingnya dengan mudah dan buruh dianggap produsen bukan konsumen. Sehingga perusahaan/ pengusaha sewenag-wenag terhadap buruh tersebut. Maka disinilah muncul UU Ketenagakerjaan yang mana UU ini memperjuangkan hak-hak buruh/ pekerja, yang selama ini di kesampingkan yang merupakan kelompok lemah. Hukum perburuhan memang berawal dari kesadaran akan ketidakseimbangan sosial-ekonomis antara-buruh dan majikan. Namun harus diakui bahwa logika yang dianut hukum perburuhan merupakan penyimpangan dari logika hukum mainstream (arus utama).

  1. Hak-hak buruh/ tenaga kerja atas majikan/ pengusaha, adalah sebagai berikut;
  • Tenaga kerja mempunyai hak untuk dibina sebagaimana termaktub dalam pasal 9 UU No.1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja, sebagai berikut;

1.   Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang :

  • Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta yang dapat timbul dalam tempat kerja;
  • Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam tempat kerja;
  • Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan;
  • Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya.

2.    Pengurus hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja yang bersangkutan setelah ia yakin bahwa tenaga kerja tersebut telah memahami syarat-syarat tersebut di atas.

  1. Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya, dalam pencegahan kecelakaan dan pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja, pula dalam pemberian pertolongan pertama pada kecelakaan.

Pengurus diwajibkan memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja yang dijalankan.

  • Hak dan kewajiban tenaga kerja, sebagai mana termaktub dalam pasal 12 UU No 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja;

Pasal 12

Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk: a. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau keselamatan kerja; b. Memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan; c. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan; d.Meminta pada Pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan; e. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat kesehatan dan keselamatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khususditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggung jawabkan.

  • Hak pesongon terhadap buruh sebagaimana termaktub dalam UU No.13 Tahun 2003, sebenarnya termasuk program jaminan sosial yang menjadi hak tenaga kerja. Karena itu, mestinya dimasukkan dalam penyelenggaraan program jaminan sosial lainnya, sebagaimana termaktub dalam UU 40 tahun 2004, yaitu ;
  1. Jaminan Kesehatan (JK)
  2. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
  3. Jaminan Hari Tua (JHT)
  4. Jaminan Pensiun (JP) dan,
  5. Jaminan Kematian (JKM)

Jaminan pesangon, atau Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (JPHK), ternyata diatur tersendiri dalam UU No.13 Tahun  2003 tentang Tenaga Kerja. Dengan memperhatikan perundangan yang sudah ada, dimana hak – hak tenaga kerja telah ditentukan, perobahan yang dilakukan tidak boleh merugikan hak tenaga kerja. Perobahan itu hedaklah secara mendasar, sesuai dengan best – practice yang lazim. Karena itu, tidak ada jalan lain, selain mengintegrasikan jaminan pesangon (JPHK) dengan program Jamian Sosial lainnya, yang nota bene belum diberikan kepada sebagian besar tenaga kerja kita. Dengan pendekatan seperti itu, tenaga kerja akan memiliki program jaminan sosial sesuai UU 40/2004, sementara bagi pemberi kerja, beban itu akan lebih ringan.

  • Buruh atau tenaga kerja mendapatkan hak pesangon sebagaimana termaktub dalam pasal 173, 174, dan 175 UU No.13 Tahun 2003, sebagai berikut;

Pasal  173

  1. Pemerintah melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan.
  2. Pembinaan sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1), dapat mengikut sertakan organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait
  3. Pembinaan sebagaimana di maksud dalam ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi.

Pasal  174

Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerjasama internasional dibidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Pasal  175

  1. Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah berjasa dalam pembinaan ketenagakerjaan.
  2. Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya.

Maka selayaknya memperoleh perhatian dari pemerintah tentang formulasi UU ketenaga kerjaan, antara lain adalah:

  1. Tetap menjamin hak – hak tenaga kerja, khususnya besaran pesangonnya, sesuai dengan UU No 13 Tahun 2004.
  2. Diselenggarakan melalui prinsip – prinsip program Jamiman Sosial, antara lain sifat not for profit, single – provider dan (mestinya) diintegrasikan dengan program jaminan sosial lainnya. hal ini diperlukan, agar ada integrasi, tidak sepotong – potong, sehingga beban iuran akan lebih besar. Adanya pikiran – pikiran untuk membuka peluang multi – providers, apalagi membuka peluang perusahaan asuransi swasta untuk terlibat, selayaknya di tinggalkan , demi manfaat, efisiensi dan kelangsungan program itu.
  3. Terkait dengan masa transisi UU No 40 Tahun 2004, akan sangat ideal, apabila semua itu diintergrasikan pendekatannya, sehingga menjamin penyelenggaraan program jaminan sosial yang terintegrasi dan komprehensif, adil dan merata. Dengan demikian kelangusungan hidupnya lebih terjamin.

Sehingga Dalam hukum perburuhan ada peraturan yang mengatur hubungan antara para majikan dan buruh agar majikan tidak bertindak sewenang-wenang terhadap buruh. Dalam hubungan kerja terdapat hak dan kewajiban majikan dan buruh. Sehingga akan tercipta hubungan yang serasi antara majikan dan buruh.

SOSIOLOGI HUKUM

SOSIOLOGI HUKUM


Oloh: MOCHAMAD SOEF, SH, S.HI

Pengertian Sosiologi  Hukum

ð Soerjono Soekanto: Cabang ilmu pengetahuan yang secara teoritis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan gejala2 sosial.

ð Satjipto Rahardjo: Pengetahuan yang mempelajari perilaku masya dlm kontek social.

ð R. Otje Salman: Mempelajari hubungan timbale balik antara hukum dengan gejala2 sosial secara empiris analisis.

ð H.L.A. Hart: Konsep hukum yang mengandung unsur2 kekuasaan yang terpusatkan pada kewajiban dlm gejala hukum yang tampak dari kehidupan bermasya.

***Inti dari suatu system hukum antara aturan utama (primary rules), kewajiban masya. Yg bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pergaulan hidup dan aturan tambahan (secondary rules);

a) Rules of recognition (aturan utama sangat diperlukan berdasarkan hierarki urutannya);

b) Rules of change (mengesahkan aturan pertama diberlakukan);

c) Rules of adjudication (memberikan hak perorangan untuk menentukan sanksi pada suatu peristiwa peraturan utama dilanggar);

***Yang melatar belakangi lahirnya sosiologi hukum:

=>Filsafat Hukum, yang menyebabkan lahirnya filsafat hukum tersebut adalah aliran positivisme (stratifikasi derajat hukum dimaksud adalah yang paling bawah putusan badan pengadilan, atasnya UU dan kebiasaan, atasnya lagi kontitusi dan yang paling atas grundnorm (dasar/ basis social salah satu objek bahasan dlm social hukum)).

HIERARKI  HUKUM

GRUNDNORM
KONTITUSI
UU & KEBIASAAN
PUTUSAN B.PENGADILAN

Aliran2 filsafat hukum mendorong tumbuh & berkembangnya sosiologi hukum:

  1. Mazhab sejarah: hukum tumbuh dan berkembang bersama2 dengan masya.
  2. Aliran Utility: hukum harus bermanfaat bagi masya, guna tercapainya kehidupan bahagia.
  3. Aliran Sociological Jurisprudence: hukum yang dibuat harus sesuai dengan hukum yang hidup dlm masya.
  4. Aliran Prakmatic Legal Realism:  Law as a tool of social engineering.

ð Ilmum Hukum: Hukum sebagai gejala social, banyak mendorong pertumbuhan sosiologi hukum. Hans Kelsen menganggap hukum sebagai gejala normative.

ð Sosiologi yg berorentasi Hukum: bahwa dlm setiap masya, selalu ada solidaritas organis (masya.modern, hukum bersifat restitutif seperti hukum perdata) dan solidaritas mekanis (masya. Sederhada, hukum yg bersifat represif seperti hukum pidana). Max Weber, ada 4 tipe ideal, a).irasional formal, b).irasional material, c).rasional material (berdasarkan konsep2 hukum), d).rasional material.

LETAK DAN RUANG LINGKUP SOSIOLOGI HUKUM

2 Hal yaitu:

  1. Dasar2 sosial dari hukum/ basis social dari hukum. Hukum nasional berdasarkan sosialnya => Pancasila: gotong royong, musyawarah, dan kekeluargaan.
  2. Efek2 hukum sebagai gejala2 sosial.

ð UU No.1/1974: perkawinan thdp gejala kehidupan rumah tangga.

ð UU No.22/1997 & UU No.23/1999: Narkotika & Narkoba thdp gejala konsumsi obat2 terlarang dan semacamnya.

ð UU No.19/2002: Hak Cipta thdp gejala budaya.

ð UU mengenai Pemilihan Presiden secara langsung thdp gejala politik.

PENDEKATAN DLM SOSIOLOGI HUKUM

  1. Pendekatan Instrumental;

suatu disiplin ilmu teoritis yg mempelajari keteraturan dari fungsinya hukum. Tahap ini adalah merupakan tahap penengah dari perkembangan  atau pertumbuhan sosilogi hukum, akan tercapai bila adanya otonomi dan kemandirian intelektual.

  1. 2. Pendekatan Hukum Alam & Kritikan thdp Pendekatan Positivistik;

KARAKTERISTIK KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM

Fenomena Hukum yang mewujudkan;

  1. Deskriptif, menjelaskan praktik-praktik hukum yang dibedakan menurut UU, penerapan dlm pengadilan dan mempelajari bagaimana praktik2 pada masing2 bidang hukum.
  2. Menjelaskan, penjelasan mengapa praktik hukum terjadi dlm masya sebab musabab dan factor, latar belakang, praktik hukum terjadi.
  3. Memprediksi, suatu hukum sesuai atau tidak sesuai dengan masya tertentu (perbedaan yang mendasar antara pendekatan yuridis normative = tunduk pada hukum, antara yuridis empiris atau sosiologi hokum = menguji dgn data empiris, kenyataan hukumdalam masya).
  4. Sosiologi hukum tdk melakukan penilaian thdp hukum. Akan tetapi perhatiannnya adalah hanyalah pemberian penjelasan thdp objek fenomena hukum yang dipelajari dlm masyarakat.

PERBEDAAN YURIDIS NORMATIF DAN YURIDIS EMPIRIS

Perbandingan Yuridis Empiris Yuridis Normatif
Objek Sociological Model Jurisprudence Model
Fokus Social Struktur Analisis Aturan (rules)
Proses Perilaku (behavior) Logika (logic)
Pilihan (purpose) Ilmu Pengatahuan (scintific) Praktis (practical)
Tujuan (goal) Penjelasan (explanation) Pengambilan Keputusan (decision)

HUKUM SEBAGAI SOSIAL KONTROL

Bahwa social control/ social engineering diartikan sebagai suatu proses, baik yg direncanakan ataupun yang tidak direncanakan, yg bersifat mendidik, atau mengajak bahkan memaksa warga masya agar mematuhi kaidah dan nilai yang berlaku. Yang berupa pemidanaan, kopensasi, terapi, maupun konsiliasi. Patokan suatu pemidanaan adalah larangan yang apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan (sanksi negatif) bagi pelanggarnya.

HUKUM SEBAGAI ALAT UNTUK MENGUBAH MASYARAKAT

Hukum berfungsi sebagai control social sebagai pengubah masya menjadi social engineering yaitu melalui hakim sebagai interpretasi dalam mengadilan kasus yg dihadapinya secara seimbang “balance”. Dengan memperhatikan beberapa hal, sebagai berikut:

ð Studi tntng aspek social yg actual dari lembaga hukum.

ð Tujuan pembuatan peraturan yg efektif.

ð Studi tntng sosiologi dlm mempersiapkan hukum.

ð Studi tntang metodologi hukum.

ð Sejarah hukum.

ð Arti penting tentang alasan2 dan solusi dari kasus2 individual yg berisikan keadilan abstrak dari hukum yg abstrak pula.

HUKUM DAN KEKUATAN-KEKUATAN SOSIAL

Empat kekuatan social itu adalah

1)      Kekuatan Uang

Sejak bangsa Indo.melaksanakan pembangunan nosional yg pada pokoknya merupakan pembangunan ekonomi, terjadi suatu proses perubahan social yg tidak kunjung berhenti di dalam masyarakat kota.

2)      Kekuatan Politik

Di dlm system demokrasi di Indonesia,

3)      Kekuatan Massa

4)      Teknoloigi Baru

Perdagangan ABG yang hendak dikirim ke Malaysia atau Kalimantan

Perdagangan ABG yang hendak dikirim ke Malaysia atau Kalimantan

Oleh: MOCHAMAD SOEF, SH, S.HI

KASUS POSISI

Perdagangan ABG yang hendak dikirim ke malaysia atau kalimantan

Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Surabaya – bahwa pada hari rabu 19 desember 2007 (Kompas) telah dimuat dibongkarnya perdagangan ABG yang hendak dikirim ke malaysia atau kalimantan, yang rencananya 6 (enam) anak tersebut akan dikirim ke Malaysia atau Kalimantan dipekerjakan sebagai pekerjaan seks komersial (PSK). Dan adapun tersangka yang masuk dalam komplotan  adalah Abdul Kadir (39) dan Suwardi (28) warga Makassar, Nurlailiah atau Lilik (48) warga Surabaya, serta Hariyanto (46) warga Tarakan, Kalimantan Timur. Adapun keenam korban tersebut adalah berinisial NM (20), BR (15), MQ (14), RA (20), MU (14), dan RI (14) akan dijual  oleh Lilik kepada Hariyanto dengan harga 1 (satu) juta rupiyah perorang dan dengan iming-iming dari Lilik dengan uang banyak serta telepon seluler baru. Bahwa Hariyanto menceritakan kepada korban dendak dipekerjakan sebagai PSK di Kalimantan, yang bertugas melayani tamu di bar dengan biaya Rp 500.000,00 sekali menuangkan minuman tetapi tidak diajak kencan.

ANALISIS KASUS

Perdagangan orang (Trafficking in Persons) yang dilakukan oleh Hariyanto dan Lilik,dkk terhadap 6 anak ABG tersebut telah melakukan tindak pidana sebagaimana tertera pada Pasal 1 (2) jo pasal 2 ayat (1) jo pasal 4 dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Dan kedua tersangka tersebut dapat dijerat pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), dikarenakan menjanjikan sesuatu sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi seksual.

Bahwa pelaku sindikat perdagangan orang tersebut telah melakukan pelanggaran tindak pidana perdagangan orang dibawah umur pada pasal 1 (5) Undang-undang no 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dan para tersangka juga melanggar hak-hak dan norma-norma kemanusiaan dikarenakan melakukan eksploitasi seksual yaitu segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual dari calon korban untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya untuk dijual pada lelaki hidung belang, sebagaimana tertera pada pasal 1 (8) Undang-undang no 21 tahun 2007 Para tersangka Abdul Kadir, Suwardi, dan Nurlailiah dapat dijerat pasal 10 jo pasal 11 Undang-undang no 21 tahun 2007 dikarenakan mereka terlibat membantu dan atau melakukan percobaan tindak pidana perdagangan orang dan melakukan perencanaan serta permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang. Pasal yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10

“Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6”.

Pasal 11

“Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6”.

Hukum bagi orang terhadap perdagangan manusia di Indonesia sendiri pada dasarnya telah dijumpai dalam KUHP, yang mulai berlaku sejak tahun 1918. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa penjajahanpun perdagangan manusia (khususnya perbudakan) sudah dianggap sebagai tindakan tidak manusiawi yang layak mendapatkan sanksi pidana. Selain KUHP, perlindungan terhadap perdagangan manusia juga dijumpai dalam berbagai ketentuan perundang-undangan. Undang-undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjadi undang-undang payung (umbrella act) bagi perlindungan HAM setiap orang yang berada di Indonesia, khususnya Pasal 3 yang menekankan bahwa setiap orang dilahirkan dengan bebas dengan harkat dan martabat yang sama dan sederajat, serta hak setiap orang atas perlindungan HAM dan kebebasan dasar manusia,tanpa diskriminasi.

Dilihat dari perspektif Hukum Pidana, perilaku memperdagangkan perempuan dan anak laki-laki, telah dilarang oleh Pasal 297 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut: Memperniagakan perempuan dan memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun. Dalam hal ini Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum tidak memberikan penjelasan mengenai makna ‘perniagaan.’ Dapat disimpulkanbahwa:

“…yang dimaksudkan dengan ‘perniagaan atau perdagangan perempuan’ ialah melakukan perbuatan-perbuatan dengan maksud untuk menyerahkan perempuan guna pelacuran. Masuk pula di sini mereka yang biasanya mencari perempuan-perempuan muda untuk dikirmkan ke luar negeri yang maksudnya tidak lain akan dipergunakan untuk pelacuran…”

KERITIK DAN SARAN

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat telah mengeluarkan Laporan Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking in Persons) di Indonesia Tahun 2004-2005. Laporan tersebut menghimpun berbagai permasalahan perdagangan orang atau trafficking di berbagai provinsi yang merupakan daerah pengirim, transit, atau penerima korban trafficking. Semakin memprihatinkan praktik perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak sesungguhnya bukan ‘barang baru’ di Indonesia. Jumlah korban sulit dipastikan, namun berbagai survei, penelitian dan pengamatan yang dilakukan oleh berbagai instansi pemerintah, organisasi nonpemerintah, media massa, maupun kepolisian, menunjukkan kecenderungan trafficking semakin meningkatkan dan memprihatinkan.

Komnas Perlindungan Anak menyatakan bahwa perdagangan anak balita yang melibatkan sindikat internasional menunjukkan peningkatan. Pada 2003, ada 102 kasus yang terbongkar, tahun 2004 bertambah menjadi 192 kasus. Jumlah anak korban untuk tujuan prostitusi meningkat, dari berbagai rumah bordil di Indonesia, 30 persen atau sekira 200-300 ribu perempuan yang dilacurkan adalah anak (Maret 2005). Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pada tahun 2004 teridentifikasi 562 kasus perdagangan perempuan.

Faktor kemiskinan di pedesaan, besarnya angka pengangguran dan terbatasnya lapangan kerja di dalam negeri dilaporkan telah mendorong perempuan dan anak meninggalkan kampung halaman untuk bekerja di luar negeri demi mendapatkan kehidupan yang layak bagi diri sendiri dan keluarganya. Menurut data Depnakertrans, tenaga kerja Indonesia (TKI) tersebar di kawasan Asia Pasifik, Timur Tengah, Amerika dan Eropa. Sepanjang tahun 2001 sekurang-kurangnya mencapai 81.305 orang, tahun 2002 jumlah TKI bahkan mencapai 480.393 orang. Jumlah TKI hingga September 2003 mencapai 178.872 orang dan penempatan tenaga kerja keluar negeri merupakan proses yang sangat rawan akan terjadinya perdagangan orang. Diperkirakan 20 persen dari TKI terjebak dalam jalur ilegal dan 2 persen mengalami kekerasan.

Undang-undang no 21 tahun 2007 Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, cukup progresif dalam mengatur jumlah saksi dan barang bukti, dan secara tegas mewajibkan pemerintah, pemerintah daerah, dan perwakilan pemerintah RI di luar negeri membuat program dengan dukungan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah.

Namun ada sejumlah pasal di undang-undang tersebut yang masih lemah, yang jika implementornya tidak mempunyai komitmen yang kuat untuk menegakkan hukum dan melindungi korban, implementasi di lapangan diperkirakan akan lemah.

a)      Undang-undang ini mempunyai beberapa pasal karet, misalnya hukuman bagi pelaku perdagangan mempunyai range sangat panjang, 3-15 tahun, atau dapat ditambah menjadi hukuman maksimal seumur hidup jika korban kehilangan jiwanya. Hukuman bagi pelaku dapat keras jika hakim memberi hukuman maksimal, tetapi menjadi ringan jika yang diambil adalah hukuman minimal. Kita tahu sebagian pelaku perdagangan adalah jaringan berskala internasional, acapkali mempunyai link dengan oknum-oknum di kantor imigrasi, Depnaker, Kedutaan Besar dan konsulat Jendral RI, kantor kepolisian, kejaksaan atau pengadilan. Jaringan seperti ini akan mudah membeli hukum untuk meringankan atau bahkan membebaskan terdakwa dari jeratan hukum.

b)      Undang-undang ini kurang jelas dalam mengatur anggaran. Pasal 57 ayat (2): ”Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang”. Tetapi seberapa banyak anggaran yang harus disediakan? Undang-undang ini tidak mengaturnya secara eksplisit. Dalam praktik anggaran daerah (nyaris) habis untuk ongkos overhead eksekutif daerah dan DPRD. Undang-undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk memberi sanksi kepada Pemda yang tidak serius tersebut.

c)      Undang-undang ini memberi keharusan kepada perwakilan pemerintah RI di Luar Negeri untuk melindungi korban, tetapi ketentuan dalam undang-undang ini masih lemah.

Agar undang-undang tersebut dapat terimplementasi secara efektif, pemerintah perlu menerbitkan peraturan pemerintah untuk mengoperasionalkan lebih rinci. Tentu dengan memperkuat pasal-pasal yang masih lemah dari undang-undang dan Pemda di seluruh Indonesia perlu menyusun Perda untuk menjabarkan undang-undang tersebut ke dalam peraturan daerah yang sesuai. Dengan demikian undang-undang tersebut dapat berlaku efektif di daerah dan dapat melindungi warga negara Indonesia, khususnya perempuan dan anak dari kemungkinan menjadi korban perdagangan orang yang jelas-jelas bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

PENCEGAHAN (Perdagangan Orang)

Berbagai upaya, mulai dari pencegahan, penanganan kasus, pemulihan, dan reintegrasi korban sendiri masih menghadapi berbagai persoalan. Seperti yang diketahui, dalam penanganan kasus, hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang spesifik mengatur mengenai perdagangan orang. Selain itu, belum adanya perlindungan khusus bagi saksi juga mengakibatkan sulitnya penegakan hukum. Tidak jarang kasus yang justru mengkriminalisasi korban. Dalam hal pemulihan dan reintegrasi, ditemukan masih belum adanya jaminan layanan yang difasilitasi pemerintah. Ini semua berujung pada belum adanya keseriusan pemerintah (pusat/ daerah) dalam memberantas perdagangan orang.

Paparan di atas sesungguhnya memperlihatkan bahwa pemerintah perlu segera mengambil langkah serius dalam memberantas perdagangan orang, termasuk bersama legislatif mengesahkan peraturan perundang-undangan yang mampu melindungi khususnya perempuan dan anak dari ancaman diperdagangkan. Untuk itu, undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang saat ini berada di urutan ke-9 Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2005, seharusnya segera menjadi prioritas pembahasan DPR dan pemerintah agar segera dapat disahkan. Pengesahan undang-undang ini menjadi kebutuhan yang sangat mendesak bagi pencegahan, perlindungan, dan penegakan hukum kasus-kasus perdagangan orang. Substansi undang-undang tersebut mesti memuat semangat Protokol untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan Orang (Protokol Palermo) yang telah ditandatangani pemerintah Indonesia pada 12 Desember 2002. Sebagai contoh, Pasal 3 Protokol ini (tentang definisi) menekankan: pertama, diabaikannya consent atau persetujuan dari korban; kedua, adanya pengakuan hak korban yang wajib dipenuhi oleh negara; ketiga, adanya pengakuan pada kerentanan anak dan dengan demikian wajib mendapatkan perlakukan khusus. Semangat Protokol ini telah dimasukkan dalam Keppres RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A).

Hukuman bagi pelaku dapat keras jika hakim memberi hukuman maksimal, tetapi menjadi ringan jika yang diambil adalah hukuman minimal. Kita tahu sebagian pelaku perdagangan adalah jaringan berskala internasional, acapkali mempunyai link dengan oknum-oknum di kantor imigrasi, Depnaker, Kedutaan Besar dan konsulat Jendral RI, kantor kepolisian, kejaksaan atau pengadilan. Jaringan seperti ini akan mudah membeli hukum untuk meringankan atau bahkan membebaskan terdakwa dari jeratan hukum.

Bahwa, Undang-udang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang rumusan perbuatan pidana dan unsur perbuatan pidananya terlalu luas dan tidak jelas sehingga penerapannya akan menyulitkan dan membuka peluang terjadinya pelanggaran dan/ atau pemanfaatan oknum berwenang untuk memeras, sebagai contoh :

  1. Kalimat :”memanfaatkan tenaga” sepengetahuan saya pada TKI dan atau buruh sektor informal yang di manfaatkan oleh pengguna tenaga kerja hanyalah tenaga karena tenaga kerja yang tidak mempunyai skill atau pemberi kerja hanya hendak menggunakan tenaganya untuk kerja dan untuk itu tenaga kerja mendapat gaji dan si pemberi kerja mendapat keuntungan dari hasil kerja si tenaga kerja (prinsip ekonomi).
  2. Bagaimana dengan buruh yang volunteer/ atas inisiatif sendiri karena mempunyai rekan di luar negeri yg bekerja dan rekannya tersebut dpt meminta kepada Pengusaha ut memberi rekomendasi ut kerja di tempat rekannya bekerja, apakah rekan si calon TKI dapat dikatakan telah melanggar Undang-undang ini karena dia bukanlah Pengusaha/ badan hukum yg berhak utuk mengirim dan atau menempatkan tenaga kerja di luar negeri. Hal seperti ini sudah memenuhi rumusan pasal pidana pada satu sisi akan tetapi pada sisi yang lain si rekan calon TKI sudah membantu pemerintah dalam hal mengurangi pengangguran dengan membuka peluang bekerja dan tentunya tambahan devisa bagi negara.
  3. Pada pasal 8 ayat 2 pada kata “dapat’ menunjukkan pembuat Undang-undang tidak berani tegas dan terkesan menganak emaskan pejabat. Hal seperti ini umum terdapat dalam rumusan Undang-undang di negara kita. Menurut hemat saya justru kepada pejabat terlebih penegak hukum harus diberikan sanksi lebih keras dan tegas jadi tidak perlu kata”dapat” dimasukkan dalam rumusan pasal melainkan kata “harus/ wajib” sehingga Undang-undang ini memiliki ketegasan sekaligus peringatan kepada pejabat untuk tidak menjadi beking atau pelaku pidana.

KESIMPULAN

Kegiatan perdagangan orang meliputi tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan negara, penampungan sementara, pengiriman, pemindahan, penerimaan yang mengakibatkan orang lain tereksploitasi akan mendapat ancaman tindak pidana penjara minimal 3 tahun, maksimal 15 tahun dengan denda Rp 120 juta-Rp 600 juta. Sebagaimanan tertera pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Sejumlah upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menganggulangi terjadinya perdagangan orang (anak dan perempuan) secara lebih meluas, misalnya:

  1. Perubahan terhadap ketentuan yang berkenaan dengan perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
  2. Peningkatan kinerja aparat hukum untuk mendeteksi dan memproses kasuskasus perdagangan perempuan dan anak;
  3. Pemberlakuan ketentuan hukum yang memberi perlindungan khusus terhadap perempuan yang menjadi korban, yang minimal bermuatan:

a)      Hak untuk mendapat perlindungan dari aparat yang berwenang, yakkni atas perilaku yang mungkin akan dilakukan si pelaku yang dilaporkan oleh korban. Jaminan perlindungan semacam ini sangat penting untuk memastikan bahwa korban tersebut diperlakukan dengan simpatik dan hati-hati oleh penegak hukum, keselamatan dirinya dijamin, sehingga kesaksian yang diberikannya dipastikan akan diperoleh untuk menghukum pelaku;

b)      Hak untuk mendapat bantuan medis, psikologis, hukum dan sosial, terutama untuk mengembalikan kepercayaan pada dirinya serta mengembalikannya ke keluarga atau komunitasnya semula;

c)      Hak korban untuk memperoleh ganti kerugian atas kerugian yang dideritanya, baik dari pemerintah, maupun dari pelaku kejahatan yang telah menyebabkan kerugian yang luar biasa pada korban.