EKONOMI SYARI’AH

SINERGITAS EKONOMI ISLAM (SYARI’AH)

Oleh: Mochmad Soef, SH., S.HI

ABSTRAK

Ekonomi Islam

Ekonomi Islam

Prinsip ekonomi dalam Islam yang disyariatkan adalah agar tidak hidup bermewah-mewah, tidak berusaha pada kerja-kerja yang dilarang, membayar zakat dan menjauhi riba, merupakan rangkuman dari akidah, ahklak dan syariah Islam yang menjadi rujukan dalam pengembangan sistem ekonomi Islam. Nilai-nilai moral tidak hanya bertumpu pada aktifitas individu tapi juga pada interaksi secara kolektif, bahkan keterkaitan antara individu dan kolektif tidak bisa didikotomikan. Individu dan kolektif menjadi kaniscayaan nilai yang harus selalu hadir dalam pengembangan sistem, terlebih lagi ada kecenderungan nilai moral dan praktek yang mendahulukan kepentingan kolektif dibandingkan kepentingan individual.

Preferensi ekonomi baik individu dan kolektif dari ekonomi Islam akhirnya memiliki karakternya sendiri dengan bentuk aktifitasnya yang khas. Dan Umer Chapra menawarkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam, ada tiga aspek adalah sebagai berikut; a). Ketauhidan, b). Khilafah dan e). Keadilan. Tiga prinsip tersebut tidak bisa dipisahkan, dikarenakan saling berkaitan untuk terciptanya prekonomian yang baik dan stabil. Teologi (Allah) harus digunakan untuk merefleksikan tujuan syariah antara lain yaitu; pemenuhan kebutuhan (need fullfillment), menghargai sumber pendapatan (recpectable source of earning), distribusi pendapatan dan kesejahteraan yang merata (equitable distribution of income and wealth) serta stabilitas dan pertumbuhan (growth and stability)

Kata kunci: Ekonomi Islam, tauhid, khilafah, dan keadilan.

BAB I

PENDAHULUAN

Kita mengetahui bahwa ekonomi modern tidak memiliki batasan improvisasi dalam berekonomi, kecuali mereka harus berhadapan dengan kekuatan pasar yang biasa diklaim sebagai invisible hand. Oleh sebab itu, tumpuan perhatian masalah ekonomi lebih ditujukan pada bagaimana mengatasi kondisi kelangkaan akan sumber daya ekonomi yang dihadapi setiap individu. Kemajuan berupa kelengkapan infrastruktur, fasilitas dan kemajuan teknologi yang semakin memudahkan hidup dan kehidupan manusia menjadi klaim sebuah kesuksesan pembangunan ekonomi modern. Gedung-gedung yang megah, transportasi yang semakin memendekkan waktu, telekomunikasi yang semakin mengecilkan luasnya dunia menjadi prasasti ekonomi modern. Semua itu menjadi jejak betapa ekonomi modern telah berperan dalam pembangunan peradaban umat manusia. Hingga saat ini kekuatan pasar telah menjadi prinsip umum yang secara konsisten dipertahankan dalam pengembangannya. Kepuasan individu menjadi rujukan teori dan praktek berekonomi. Instrumen-instrumen yang tercipta berikut barang dan jasa yang diproduksi dalam pembangunan ekonomi akhirnya konsisten dengan prinsip umum tersebut. Selanjutnya sebagai implikasi dari kecenderungan tersebut, parameter atau ukuran kemegahan dan keberhasilan pembangunan ekonomi direfleksikan oleh variabel-variabel jumlah materi yang dihasilkan oleh pelaku pelaku ekonomi. Tidak heran jika kemudian prilaku ekonomi dari individu individunya juga sangat konsisten dengan paradigma kekuatan pasar (kapitalisme), kepuasan individual (individualisme) dan materialistic (materialisme).

Namun dalam aplikasinya selama ini, tujuan dan praktek ekonomi modern ternyata tidak berjalan seiring. Keduanya tidak pernah bertemu pada puncak pencapaian ekonomi. Yang terjadi adalah kontradiksi dan paradok-paradok antara praktek dan tujuan, kerja dan harapan serta prilaku dan cita-cita. Kekacauan ekonomi kerap dan selalu terjadi, baik berupa krisis ekonomi maupun berbentuk kekacauan sosial. Pembangunan tidak malah memberikan kemakmuran yang merata namun semakin menunjukkan ketimpangan yang semakin dalam. Kemegahan ekonomi tidak semakin membuat individu-individu ekonomi semakin bersifat sosial yang mengedepankan nilai persaudaraan dan kekeluargaan tetapi malah membentuk dan menciptakan manusia-manusia yang rakus. Kemiskinan dan kesenjangan sosial di sebuah negara yang kaya dengan sumber daya alam dan mayoritas penduduknya beragama muslim, seperti Indonesia, merupakan suatu keprihatinan. Jumlah penduduk miskin terus bertambah jumlahnya sejak krisis ekonomi pada tahun 1997 hingga saat ini. Pengabaian atau ketidak seriusan penanganan terhadap nasib dan masa depan puluhan juta kaum orang tidak mampu “dhuafa” yang tersebar di seluruh tanah air merupakan sikap yang berlawanan dengan semangat dan komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan sosial. Menurut Kepala Ekonom Bank Dunia William E Wallace, Rabu 10 Desember 2009 mengatakan, pihaknya memerkirakan pada 2008 angka kemiskinan menjadi 15,4 persen atau 33,8 juta jiwa (bila penduduk 220 juta jiwa) bila pertumbuhan ekonomi di akhir tahun mencapai 6,1 persen. Jumlah itu lebih rendah 1,2 persen dibandingkan pada 2007 yang mencapai 16,6 persen.[1]

Tidak sedikit setelah terjadinya krisis ekonomi tersebut diatas para usaha keci menengah banyak yang gulung tikar karena terkena dampak krisis. Islam telah merumuskan suatu sistem ekonomi yang sama sekali berbeda dari sistem-sistem lainnya. Hal ini karena Islam memiliki akad dari syari’ah yang menjadi sumber dan panduan bagi setiap muslim dalam melaksanakan aktivitasnya. Islam memiliki tujuan-tujuan syari’ah (maqasid asy-syari’ah) serta petunjuk operasional (strategy) untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan-tujuan itu sendiri selain mengacu pada kepentingan manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik, juga memiliki nilai yang sangat penting bagi persaudaraan dan keadilan sosio ekonomi, serta menuntut tingkat kepuasan yang seimbang antara kepuasan materi dan rohani.[2] Maka penulis berpandangan kiranya sangat penting untuk mengkaji dalam Teori Ekonomi Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

I. Sejarah Pencetus Dasar Ilmu Ekonomi Islam

Di antara sekian banyak pemikir masa lampau yang mengkaji ekonomi Islam, Ibnu Khaldun merupakan salah satu ilmuwan yang paling menonjol. Nama lengkap beliau adalah Abu Zayd ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami (lahir 27 Mei 1332/ 732H, wafat 19 Maret 1406/ 808 H) adalah seorang sejarawan muslim dari Tunisia dan sering disebut sebagai bapak pendiri ilmu historiografi, sosiologi dan ekonomi. Karyanya yang terkenal adalah Muqaddimah (Pendahuluan). Ibnu Khaldun sering disebut sebagai raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Ia bukan saja Bapak sosiologi tetapi juga Bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Artinya, ia lebih dari tiga abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut. Ibnu Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, indusrtri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya.

Ibnu Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental, beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa). Ia menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Oleh karena besarnya sumbangan Ibnu Khaldun dalam pemikiran ekonomi, maka Boulakia mengatakan, “Sangat bisa dipertanggung jawabkan jika kita menyebut Ibnu Khaldun sebagai salah seorang Bapak ilmu ekonomi.”

Ada tiga sistem ekonomi yang ada di muka bumi ini yaitu Kapitalis, sosialis dan Mix Economic. Sistem ekonomi tersebut merupakan sistem ekonomi yang berkembang berdasarkan pemikiran barat. Selain itu, tidak ada diantara sistem ekonomi yang ada secara penuh berhasil diterapkan dalam perekonomian di banyak negara. Sistem ekonomi sosialis atau komando hancur dengan bubarnya Uni Soviet. Dengan hancurnya komunisme dan sistem ekonomi sosialis pada awal tahun 90-an membuat sistem kapitalisme disanjung sebagai satu-satunya sistem ekonomi yang sahih. Tetapi ternyata, sistem ekonomi kapitalis membawa akibat negatif dan lebih buruk, karena banyak negara miskin bertambah miskin dan negara kaya yang jumlahnya relatif sedikit semakin kaya.

II. Pengertian dan Prinsip Dasar Ekonomi Islam

Sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam menurut Umer Chapra [6] adalah sebagai berikut:

1. Prinsip Tauhid.

Tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala apa yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT, bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia yang menjadi salah satu penghuni di dalamnya.

Prinsip Tauhid menjadi landasan utama bagi setiap umat Muslim dalam menjalankan aktivitasnya termasuk aktivitas ekonomi. Prinsip ini merefleksikan bahwa penguasa dan pemilik tunggal atas jagad raya ini adalah Allah SWT. Prinsip Tauhid ini pula yang mendasari pemikiran kehidupan Islam yaitu Khilafah (Khalifah) dan ‘Adalah (keadilan)

2. Prinsip Khilafah.

Khilafah mempresentasikan bahwa manusia adalah khalifah atau wakil Allah di muka bumi ini dengan dianugerahi seperangkat potensi spiritual dan mental serta kelengkapan sumberdaya materi yang dapat digunakan untuk hidup dalam rangka menyebarkan misi hidupnya. Ini berarti bahwa, dengan potensi yang dimiliki, manusia diminta untuk menggunakan sumberdaya yang ada dalam rangka mengaktualisasikan kepen-tingan dirinya dan masyarakat sesuai dengan kemampuan mereka dalam rangka mengabdi kepada Sang Pencipta, Allah SWT

3. Prinsip Keadilan

Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi dari prinsip ini adalah:[7] (1) pemenuhan kebutuhan pokok manusia, (2) sumber-sumber pendapatan yang halal dan tayyib, (3) distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, (4) pertumbuhan dan stabilitas.

Prinsip ‘Adalah (keadilan) menurut Chapra merupakan konsep yang tidak terpisahkan dengan Tauhid dan Khilafah, karena prinsip ‘Adalah adalah merupakan bagian yang integral dengan tujuan syariah (maqasid al Syariah). Konsekuensi dari prinsip Khilafah dan ‘Adalah menuntut bahwa semua sumberdaya yang merupakan amanah dari Allah harus digunakan untuk merefleksikan tujuan syariah antara lain yaitu; pemenuhan kebutuhan (need fullfillment), menghargai sumber pendapatan (recpectable source of earning), distribusi pendapatan dan kesejah-teraan yang merata (equitable distribution of income and wealth) serta stabilitas dan pertumbuhan (growth and stability).

II.a.   Tujuan Ekonomi Islam

Tujuan utama Syari‘at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahahan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ini sesuai dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil‘alamin. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat [8] menegaskan yang artinya: “Telah diketahui bahwa syariat Islam itu disyariatkan atau diundangkan untuk mewujudkan kemaslahahan makhluk secara mutlak”. Dalam ungkapan yang lain Yusuf al-Qaradawi menyatakan yang artinya: “Di mana ada maslahah, di sanalah hukum Allah”.[9]

Dua ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungkait antara Syariat Islam dengan kemaslahahan. Ekonomi Islam yang merupakan salah satu bagian dari Syariat Islam, tujuannya tentu tidak lepas dari tujuan utama Syariat Islam. Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik dan terhormat (al-hayah al-tayyibah).[10] Ini merupakan definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistik.

Secara terperinci, tujuan ekonomi Islam dapat dijelaskan sebagai berikut:

1)    Kesejahteraan ekonomi adalah tujuan ekonomi yang terpenting. Kesejahteraan ini mencakup kesejahteraan individu, masyarakat dan negara.

2)    Tercukupinya kebutuhan dasar manusia, meliputi makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, keamanan serta sistem negara yang menjamin terlaksananya kecukupan kebutuhan dasar secara adil dibidang ekonomi.[11]

3)    Penggunaan sumber daya secara optimal, efisien, efektif, hemat dan tidak membazir.

4)    Distribusi harta, kekayaan, pendapatan dan hasil pembangunan secara adil dan merata.

5)    Menjamin kebebasan individu.

6)    Kesamaan hak dan peluang.

7)    Kerjasama dan keadilan.

II.b.  Metodologi Ekonomi Islam

Para pakar ekonomi Islam (seperti Masudul Alam Chaoudoury, M Fahim Khan, Monzer Khaf, M. Abdul Mannan, dan lain-lain) telah merumuskan metodologi ekonomi Islam secara berbeda, tetapi dapat ditarik garis persamaan bahwa semunya bermuara pada ajaran Islam. Metodologi Ekonomi Islam, dapat diringkaskan sebagai berikut :

  1. Ekonomi Islam dibentuk berdasarkan pada sumber-sumber wahyu, yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Penafsiran terhadap dua sumber tersebut mestilah mengikuti garis panduan yang telah ditetapkan oleh para ulama muktabar, bukan secara membabi buta dan ngawur.[12]
  2. Metodologi ekonomi Islam lebih mengutamakan penggunaan metode induktif.
  3. Ekonomi Islam dibangun di atas nilai dan etika luhur yang berdasarkan Syariat Islam, seperti nilai keadilan, sederhana, dermawan, suka berkorban dan lain-lain.
  4. Kajian ekonomi Islam bersifat normatif dan positif.
  5. Tujuan utama ekonomi Islam adalah mencapai falah (kemenangan) di dunia dan akhirat.

II.b.  Indikator Kesejahteraan Islami

Kesejahteraan dalam pembangunan sosial ekonomi, tidak dapat didefinisikan  hanya berdasarkan konsep materialis dan hedonis, tetapi juga memasukkan tujuan-tujuan kemanusiaan dan keruhanian. Tujuan-tujuan tersebut tidak hanya mencakup masalah kesejahteraan ekonomi, melainkan juga mencakup permasalahan persaudaraan manusia dan keadilan sosial-ekonomi, kesucian kehidupan, kehormatan individu, kehormatan harta, kedamaian jiwa dan kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat.

Salah satu cara menguji realisasi tujuan-tujuan tersebut adalah dengan:

  1. melihat tingkat persamaan sosial dan pemenuhan kebutuhan dasar bagi semua;
  2. terpenuhinya kesempatan untuk bekerja atau berusaha bagi semua masyarakat;
  3. terwujudnya keadilan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan;
  4. stabilitas ekonomi yang dicapai tanpa tingkat inflasi yang tinggi;
  5. tidak tingginya penyusutan sumber daya ekonomi yang tidak dapat  diperbaharui, atau ekosistem yang dapat membahayakan kehidupan;

Cara lain menguji realisasi tujuan kesejahteraan tersebut adalah dengan melihat perwujudan tingkat solidaritas keluarga dan sosial yang dicerminkan pada tingkat tanggungjawab bersama dalam masyarakat, khususnya terhadap anak-anak, usia lanjut, orang sakit dan cacat, fakir miskin, keluarga yang  bermasalah, dan penangulangan kenakalan remaja, kriminalitas, dan kekacauan  sosial.

Berlandaskan Kerangka Dinamika Sosial Ekonomi Islami, suatu pemerintahan harus dapat menjamin kesejahteraan masyarakat dengan menyediakan lingkungan  yang sesuai untuk aktualisasi pembangunan dan keadilan melalui implementasi Syariah. Hal itu terwujud dalam pembangunan dan pemerataan distribusi kekayaan  yang dilakukan untuk kepentingan bersama dalam jangka panjang. Sebuah masyarakat bisa saja mencapai puncak kemakmuran dari segi materi, tetapi kejayaan tersebut tidak akan mampu bertahan lama apabila lapisan moral individu dan sosial sangat lemah, terjadi disintegrasi keluarga, ketegangan sosial dan anomie masyarakat meningkat, serta pemerintah tidak dapat berperan sesuai dengan porsi dan sebagaimana mestinya. Salah satu cara yang paling konstruktif dalam merealisasikan visi  kesejahteraan lahir dan bathin bagi masyarakat yang sebagian masih berada di garis kemiskinan, adalah dengan menggunakan sumber daya manusia secara efisien dan produktif dengan suatu cara yang membuat setiap individu mampu mempergunakan kemampuan artistik dan kreatif yang dimiliki oleh setiap individu tersebut dalam merealisasikan kesejahteraan mereka masing-masing. Hal ini tidak akan dapat dicapai jika tingkat pengangguran dan semi pengangguran yang tinggi tetap berlangsung.

Ibnu Khaldun, menjadikan syariah sebagai variabel terikat di dalam teori  Model Dinamika, tetapi syariah  hanya memberikan prinsip-prinsip dasar yang  dibutuhkan untuk menyusun apa yang seusai dengan kebutuhan masyarakat yang mungkin berubah seiring perubahan tempat dan waktu. Syariah harus diimplementasikan, dan akan terlaksana jika kaum ulama tidak terlalu liberal atau tidak terlalu kaku dan realistis. Implementasi syariah tidak dapat  diwujudkan jika kekuasaan politik menjadi sekuler dan korup serta tidak bersedia menjalankan perannya sebagaimana mestinya. Apabila masyarakat terlalu miskin, acuh dan tertindas, maka mereka juga akan menggunakan pengaruh yang ada. Jadi, syariah tidak akan efektif bila pemerintah dan masyarakat (termasuk kaum ulama) tidak menjalankan perannya dengan tepat.

BAB III

ANALISIS

A. Perbandingan Paradigma, Dasar dan Filosofi Sistem Ekonomi

Dari penjelasan yang telah paparkan di atas menyangkut sistem ekonomi yang ada, maka ada tiga sistem ekonomi yang utama saat ini, yang diterapkan oleh negara-negara di muka bumi ini. Tiga sistem ekonomi utama tersebut adalah sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi sosialis, dan sistem ekonomi syariah. Ke tiga sistem ekonomi tersebut mempunyai paradigma, dasar dan fisolofi yang berbeda dan bertolak belakang satu dengan yang lain. Perbedaan yang mendasar menyangkut paradigma, dasar dan filosofi ke tiga sistem ekonomi tersebut terlihat pada Gambar 1.a.

Dari bagan pada Gambar 1.a terlihat bahwa, untuk sistem ekonomi sosialis, paradigma yang digunakan adalah Marxis yaitu paradigma yang tidak mengakui pemilikan secara individual. Semua kegiatan, baik produksi maupun yang lainnya ditentukan oleh negara dan didistribusikan secara merata menurut kepen-tingan negara. Dasar yang digunakan dalam ekonomi sosialis yaitu bahwa, pemilikan faktor produksi pribadi tidak diakui. Sedangkan filosofinya yaitu bahwa, semua anggota masyarakat merupakan satu kesatuan yang mempunyai kesamaan hak, kesamaan tanggungjawab dan kesamaan lainnya. Dalam sistem ekonomi sosialis ini, semua orang harus sama tidak boleh ada perbedaan.

Sistem ekonomi kapitalis merupakan sistem ekonomi yang mempunyai paradigma bahwa, kegiatan ekonomi ditentukan oleh mekanisme pasar. Semua aktivitas ekonomi ditentukan oleh mekanisme pasar. Dasar pemikiran yang digunakan adalah bahwa, semua orang merupakan makhluk ekonomi yang berusaha untuk memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas dan akan terus berusaha memenuhinya sekuat kemampuannya. Individualisme merupakan filosofi yang digunakan. Dalam hal ini, semua orang berhak untuk memenuhi kebutuhannya sebanyak-banyaknya dan berhak atas kekayaan yang dimilikinya secara penuh. Faktor-faktor produksi dapat dikuasai secara individu dan digunakan oleh yang bersang-kutan sesuai dengan keinginannya tanpa dibatasi sepanjang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

EKONOMI

SISTEM EKONOMI

SOSIAL

KAPITALIS

SYARIAH

PARADIKMA MARXIS

PARADIKMA PASAR

PARADIKMA SYARIAH

DASAR, Non privat ownership of the means of production DASAR, Ekonomi man DASAR, Muslim (Ahsani Taqwim)

PHILOSOPHI,  Sosialis

PHILOSOPHI, Individualisme

PHILOSOPHI, Tauhit

Gambar 1.a.

Paradigma, dasar dan filosofi sistem ekonomi

Selanjutnya, sistem ekonomi syariah mempunyai paradigma bahwa, segala sesuatu yang ada dan kegiatan yang dilakukan harus didasarkan pada Al Qur’an dan Hadist atau Syariah Islam. Dalam kegiatan ekonomi, dasar yang digunakan adalah bahwa, sebagai umat Muslim setiap orang mempunyai kewajiban untuk melakukan semua aktivitas sesuai dengan ajaran Islam. Filosofi yang diterapkan yaitu bahwa, semua manusia adalah makhluk Allah, karenanya harus selalu mengabdi kepada-Nya. Semua aktivitas yang dilakukan termasuk aktivitas ekonomi merupakan ibadah kepada Allah.

sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat merujuk pada kitab Injil (Bible), dan etika ekonomi Yahudi banyak merujuk pada lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al-Qur’an. Namun jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat (spirit) kapitalisme, maka etika agama Islam tidak mengarah pada Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu :

  1. Kesatuan (unity)
  2. Keseimbangan (equilibrium)
  3. Kebebasan (free will)
  4. Tanggungjawab (responsibility)

Manusia sebagai wakil atau kalifah Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik, karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi.

Sistem ekonomi syariah berbeda dari Kapitalisme, Sosialisme, maupun Negara Kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari Kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Dalam kitab suci al-qur’an terlah disebutkan sebagai berikut;

”Kecelakaanlah bagi setiap..…yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung” (Q.S Al-Humazah, 2).[13]

Orang miskin dalam Islam tidak dihujat sebagai kelompok yang malas dan yang tidak suka menabung atau berinvestasi. Ajaran Islam yang paling nyata menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan keadilan social. Dalam kitab suci al-qur’an terlah disebutkan sebagai berikut;

”jangan sampai kekayaan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja diantara kamu” (QS, Al-Hasyr, 7).[14]

Disejajarkan dengan Sosialisme, Islam berbeda dalam hal kekuasaan negara, yang dalam Sosialisme sangat kuat dan menentukan. Kebebasan perorangan yang dinilai tinggi dalam Islam jelas bertentangan dengan ajaran Sosialisme.

Akhirnya ajaran Ekonomi Kesejahteraan (Welfare State) yang berada di tengah-tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme memang lebih dekat ke ajaran Islam. Bedanya hanyalah bahwa dalam Islam etika benar-benar dijadikan pedoman perilaku ekonomi sedangkan dalam Welfare State tidak demikian, karena etika Welfare State adalah sekuler yang tidak mengarahkan pada ”integrasi vertikal” antara aspirasi materi dan spiritual. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan materil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturan oleh negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter.

B. Analisa Prinsip Syariah dalam kegiatan Ekonomi

Teori ekonomi dalam Islam bergeser pada system nilai yang lebih luas, yaitu manfaat yang didapatkan bukanlah sekedar hanya sekedar pada manfaat di setiap akhir kegiatan, melainkan pada setiap proses transaksi. Setiap transaksi harus mengandung nilai-nilai konsep kemaslahatan dan menjunjung tinggi asas-asas keadilan.

Bahwa prinsip yang dimaksud adalah mewajibkan para pelaku ekonomi agar selalu menjunjung tinggi etika dan norma hukum menurut Islam dalam hal kegiatan ekonomi. Realisasi konsep syariah dalam sistem ekonomi Islam (syariah), memiliki tiga ciri mendasar yaitu;[15] a). perinsip keadilan, b). menghindari kegiatan yang dilarang, dan c). memperhatikan aspek kemanfaatan. Maka ketiga ciri system tersebut saling berkaitan sehingga tidak bias dipisahkan dan dalam menerapkan semua prinsip syariah tersebut dalam sistem ekonomi yang seimbang yaitu keseimbangan mekanisme keuntungan dengan pemenuhan prinsip syariah dalam kegiatan oprasionalnya.

Sehingga dapat dilihat atas potensi manfaat keberadaan sistem ekonomi yang ditujukan kepada bukan hanya untuk umat Islam melainkan untuk seluruh umat manusia dimuka bumi ini (rahmatan lil ‘alamin-rahmat bagi seluruh alam semesta). Dari paparan diatas tersebut dapat diklasifikasikan dalam bentuk gambar 1.b mengenai apa saja yang mendasari system ekonomi Islam (syariah), adalah sebagai berikut;[16]

Keadilan Menghindari Aktivitas yang Terlarang Kemanfaatan
Transparansi dan kejujuran Larangan produk jasa dan proses yang merugikan dan berbahaya Produktif dan tidak spekulatif
Transaksi yang fair Tidak menggunakan SDM illegal dan secara tidak adil Menghindari penggunaan SDM yang tidak efisien
Persaingan yang sehat Akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memperoleh SDM.

Perjanjian yang saling menguntungkan

Gambar 1.b.

Kemaslahatan bagi masyarakat berdasarkan ekonomi Islam (syariah)

BAB IV

A. KESIMPULAN

Perbedaan ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional terletak pada filosofi ekonomi, bukan pada ilmu ekonominya. Filosofi ekonomi memberikan ruh pemikiran dengan nilai-nilai Islam dan batasan-batasan syariah. Sedangkan ilmu ekonomi berisi alat-alat analisa ekonomi yang dapat digunakan. Bahwa ekonomi islam adalah sebuah ajaran atau doctrine dan bukannya ilmu murni (science), karena apa yang terkandung dalam ekonomi Islam bertujuan memberikan sebuah solusi hidup yang paling baik. Sedangkan ilmu ekonomi hanya akan mengantarkan kita kepada pemahaman bagaimana kegiatan ekonomi berjalan. Tiga prinsip teori Ekonomi Islam menurut Umer Chapra adalah sebagai berikut: a). Prinsip Tauhid, b). Prinsip Khalifah, dan e). Prinsip Keadilan. Prinsip ‘Adalah (keadilan) menurut Chapra merupakan konsep yang tidak terpisahkan dengan Tawhid dan Khilafah, karena prinsip ‘Adalah adalah merupakan bagian yang integral dengan tujuan syariah (maqasid al Syariah). Adapun maqasid al syariah dalam ekonomi islam adalah untuk terciptanya kesejahtraan indivudu, masyarakat serta negara, obtimalisasi sumber daya secara efisien, adanya distribusi harta secara adil, terciptanya kesamaan hak dan peluang pada pelaku ekonomi khususnya ekonomi Islam (syariah).

B. KERITIK dan SARAN

Adapun kelemahan (weaknesses) dalam ekonomi islam; sebagai sistem ekonomi yang baru diterapkan di dunia perbankan khususnya di negara Indonesia terdapat management syariah (ekonomi Islam) yang kurang professional. Untuk jastifikasi kurang proposional management syariah banyaknya dorongan motivasi primordial yaitu motivasi keinginan untuk mengaplikasikan ajaran agama kedalam dunia nyata. Harus adanya komitmen para pakar Ekonom Islam untuk menyokong dan mengembangkan sistem ekonomi Islam. Dan para pakar ekonom Islam lebih aktif lagi dalam membantu sosialisasi sistem ekonomi Islam ini karena kita mengetahui masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam sehingga ini adalah sebagai peluang pertumbuhan ekonomi Islam yang menjanjikan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Syatibi (t.t.), al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, juz 2.

Departemen Agama R.I, (2000), Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro.

M. Abdul Mannan (1986), Islamic Economics; Theory and Practice, Cambride: Houder and Stoughton Ltd.

Muhammad Nejatullah Siddiqi (1991), “Islamic Economic Thought: Foundations, Evolution and Needed Direction”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press.

M. B. Hendrie Anto (2003), Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta: Ekonisia.

M. Umer Chapra (2001), Masa Depan Ilmu Ekonomi, (terj.) Ikhwan Abidin, The Future of Economics: An Islamic Perspective, Jakarta: Gema Insani Press.

Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia (2003), Konsep Produk dan Implementasi Operasional Bank Syari’ah , Jakarta: Djambatan.

Warkum Sumito (2004), Asas-asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait. Cet ke empat, Raja grafindo Persada: Jakarta.

Yusuf al-Qaradawi (1998), al-Ijtihad al-Mu‘asir, Beirut: al-Maktab al-Islami.

Zainuddin Ali (2008), Hukum Perbankan Syariah, cet pertama, Sinar Grafindo: Jakarta

Di akses dalam http://www.menkokesra.go.id/content/view/9999/39/, tanggal 26 Oktober 2009.


Footnotes

[1] Di akses dalam http://www.menkokesra.go.id/content/view/9999/39/, tanggal 26 Oktober 2009.

[2] Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia, Konsep Produk dan Implementasi Operasional Bank Syari’ah , Jakarta: Djambatan, 2003, hlm.10.

[3] M. Abdul Mannan (1986), Islamic Economics; Theory and Practice, Cambride: Houder and Stoughton Ltd., hlm. 18.

[4] Muhammad Nejatullah Siddiqi (1991), “Islamic Economic Thought: Foundations, Evolution and Needed Direction”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press, hlm. 21

[5] M. B. Hendrie Anto (2003), Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta: Ekonisia, hlm. 10-11

[6] M. Umer Chapra (2001), Masa Depan Ilmu Ekonomi, (terj.) Ikhwan Abidin, The Future of Economics: An Islamic Perspective, Jakarta: Gema Insani Press, hh. 202-206.

[7] Ibid.

[8] Al-Syatibi (t.t.), al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, juz 2, hlm. 19.

[9] Yusuf al-Qaradawi (1998), al-Ijtihad al-Mu‘asir, Beirut: al-Maktab al-Islami, h. 68.

[10] M. B. Hendrie Anto (2003), op.cit., h. 7.

[11] Warkum Sumito (2004), Asas-asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait. Cet ke empat, Raja grafindo Persada: Jakarta, hlm.17.

[12] M. Abdul Mannan (1986), op.cit., hlm. 13-27.

[13] Departemen Agama R.I (2000), Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, QS. Al-Humazah, 2.

[14] Departemen Agama R.I, Ibid., QS, Al-Hasyr, 7.

[15] Zainuddin Ali (2008), Hukum Perbankan Syariah, cet pertama, Sinar Grafindo: Jakarta, hlm.20.

[16] Zainuddin Ali (2008), Ibid., hlm. 21

One Response

  1. 6hNGqr xdxtjsbwlkca, [url=http://nlsnssbiybbn.com/]nlsnssbiybbn[/url], [link=http://czvdzadabnda.com/]czvdzadabnda[/link], http://berahpnuwgzm.com/

Leave a comment